Oleh: Nara Setya Wiratama, S.Pd.
Tulisan ini Saya tulis pada Kamis ba’da Isya tanggal 23 Oktober 2014 pk. 19.45Wib. Saya akan mencoba berbagi pengalaman berdasarkan apa yang sudah pernah Saya alami dan dari literatur literatur buku maupun seorang yang praktisi. Saya akan berbagi mengenai tiga kata berbeda namun memiliki persamaan yg sangat rekat dan terkesan membingungkan. Saya menyebut ketiga kata ini dengan sebutan hakekat filosofi Sakti, Ngerti, dan Ikhlas. Dilain sisi ada kata Sakti, namun ada kata Ngerti (Mengerti), dan kata Ikhlas yg mencerminkan kepasrahan diri. Saya akan mengaitkan pula ketiga kata tersebut dg tingkatan pendidikan. Bagi saudara” yang berkecimpung di dunia Persilatan, dunia kejawen, maupun akademisi khususnya di bidang humaniora pasti sering menjumpai kata sakti. Untuk Ngerti dan Ikhlas Saya rasa sudah banyak saudara semua yg sering mengucapkan kata tersebut.
Sakti menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti mampu (kuasa) berbuat sesuatu yg melampaui kodrat alam. Definisi diatas dapat menunjukkan bahwa seorang manusia dapat dikatakan sakti apabila memiliki suatu kekuatan yg melebihi kekuatan manusia pada umumnya. Seperti contoh sebut saja namanya Si A memiliki ilmu beladiri, ilmu karomah, ilmu khodam, Ilmu Kebal, makan beling, memecahkan benda” keras, berjalan diatas air, dan lain lain. Entah disadari ataupun tidak orang yg memiliki ilmu tsb pasti ingin saja menunjukkannya pada orang lain. Jiwa nya mudah panas, mudah emosi, celakanya org seperti ini kelak jika marah kepada anaknya secara refleks memukul thd anak, dan efeknya bisa fatal. Pada dasarnya setiap orang pasti akan melalui masa” sakti ini. Sakti tidak identik dengan kesaktian Ilmu ghaib seperti yg saya contohkan diatas. Namun Kata Sakti ini Saya kaitkan dg perjalanan seseorang dalam mencari ngelmu atau ilmu pendidikan. Ada salahsatu tembang macapat pucung yang berbunyi:
“Ngelmu iku Kalakone kanthi laku,
Lekase lawan kas,
Tegese kas nyantosani,
Setya budaya pangekese dur angkara”
Arti bebasnya:
Ilmu itu diraih dengan perbuatan,
Dimulai dengan kemauan,
Artinya, kemauan membangun kesentosaan,
Teguh membudi daya menaklukkan semua angkara.
Dalam tembang / lagu macapat tersebut terungkap bahwa jika kita ingin pintar, berhasil harus memiliki ilmu. Ilmu pun tidak bisa di dapat secara instan, namun perlu suatu upaya (laku) yg sungguh”. Semakin tinggi ilmu seseorang maka ia akan bisa mengendalikan sifat angkara dalam diri. Namun ketika rasa paling sakti / paling tahu ini hinggap pada diri seseorang secara berlebih maka yg terjadi adalah kesombongan. Contoh, si B telah lulus sarjana dan berhak menyandang gelar sarjana sesuai bidangnya. Nah, dalam pandangan masyarakat desa sudah tentu si B akan dinilai lebih oleh org masyarakat karena ia telah menyandang gelar sarjana tersebut. Apabila si B tidak bisa menjaga diri maka yg ada adalah muncul sifat adigang, adigung, adiguna. Sifat merasa paling wah paling hebat dari yg lain, padahal ia blm ada apa”nya. Ia telah dinilai lebih oleh org banyak bahwa ia pintar apalagi setelah bekerja dan sukses di pekerjaannya tsb. Namun secara hakekat, sebenarnya ia masih dalam tataran bawah sendiri dan ia lupa bahwa masih ada yg lebih unggul darinya. Karakter Sakti disini bersifat tong kosong nyaring bunyi nya. Mengapa Saya mengatakan begitu? Ternyata orang” sakti ini akan kalah dengan orang yang ngerti.hehehe.. Jangan tersinggung dulu lhoyaaaa 😀
Ngerti atau mengerti adalah salah satu hal yang berhubungan dengan pengembangan satu pemiikiran, manusia bisa mengerti karena berawal dari sebuah perasaan yang di inginkan (www.joyodrono.tk. Diakses pada 23oktober 2014). Hingga terbentuk satu dorongan dalam perasaannya untuk mencari tahu apa yang belum dia tahu. Dalam tingkatan Ngerti inilah seseorang semakin sadar dan mulai menanyakan hakekat apa yg sebenarnya ia miliki. Si A yg tadinya sakti krn memiliki ajian kesaktian kebal dari senjata mulai merenung bahwa “buat apa aku memiliki ilmu kebal kalau musuhku banyak dan semakin banyak org yg slalu ingin mencoba kesaktianku?” pertanyaan-pertanyaan tsb muncul akibat seseorang tersebut sudah mulai bosan thd kehidupannya yg selalu mengagung-agungkan kesaktian. Karena menurut pengamatan Saya, orang yang memiliki ilmu-ilmu seperti itu akan ada saja cobaan yg mengharuskan ia mengeluarkan kemampuan tsb. Hingga dalam hatinya tanpa sadar muncul sifat pamer, dsb. Lalu timbul kesadaran dirinyaa untuk sedikit demi sedikit meninggalkan dan membuang ilmu2 yg merugikannya tsb. Jadi sudah jelas disini bahwa orang sakti akan kalah dengan orang ngerti.
Kata terakhir yaitu Ikhlas. Satu kata yg paling sering diucapkan dan paling mudah diungkapkan namun sangat sulit dalam implementasinya. Sebenarnya orang yg benar” sudah ikhlas, maka bathinnya akan tenang, pasrah atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Apabila dalam diri saudara masih ada gejolak yg berat, itu salahsatu indikasi bahwa saudara belum ikhlas terhadap suatu hal. Memang berat jika kita mengupas hakekat ikhlas sepenuhnya. Disana seakan akan keberadaan dunia hanya sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan YME. Dalam tataran ikhlas sudah tidak ada lagi kesaktian apapun. Semakin banyak yang kita tahu, maka semakin sedikit pula apa yg kita pahami dan mengerti. Maka akan timbul dalam diri bahwa hanya ilmu sebutir debu di pantai yg kita miliki, lalu untuk apa menyombongkan diri? Tataran tertinggi seorang Pendekar Silat / Bela diri manapun juga terletak pada keikhlasan dan pasrah. Seorang Magister, doktor, maupun seorang Profesor jangan dianggap mereka tau segalanya. Justru mereka semakin tinggi jenjang pendidikannya hanyaa tau pada satu bidang titik keilmuan. Seorang Profesor akan sedikit tau hanya pada bidangnya sendiri. Maka dari itu banyak para Profesor yg mengaku semakin bodoh saja dan semakin banyak yg ia tidak tau. Hakekatnya adalah semakin tinggi tingkat kesadaran diri seseorang, harapannya ia dapat mengupas satu persatu tabir gelap dalam dirinya agar mengetahui siapa dirinya dan berusaha menuju satu titik yaitu keikhlasaan. Jika ada seorang akademisi yg merasa paling ngerti segalanya berarti ia lah yg sebenarnya masih dalam tataran sakti. Untuk mencapai tataran Ikhlas kita tidak diharuskan mencapai gelar akademik tertinggi, atau mencari guru beladiri tersakti, dsb. Namun, tataran ikhlas cukup dicari dalam diri saudara sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah Saudara mau pilih yg mana dari ketiga filosofi diatas?
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua. Sebelum saya mengakhiri tulisan ini ijinkan Saya menuliskan semboyan leluhur kita org Jawa dulu bahwa hakekat tujuan diri adalah “Ngluruk tanpa bala, Sugih tanpa bandha, Sekti tanpa aji, menang tanpo ngasorake”. Dalam artian bebasnya “berani sendiri tanpa teman, kaya tanpa harta, hebat tanpa jimat/ajian, jika menang tidak menjatuhkan lawan”. Dari jargon tersebut dapat disimpulkan bahwa nenek moyang kita sebenarnya mengajarkan kita pada satu titik yaitu pasrah dan ikhlas. Disana sudah tidak ada lagi kekuatan dan kesaktian untuk mengalahkan org” ikhlas. Kecuali hanya Tuhan YME yg akan mengambilnya kembali untuk diangkat derajadnya. Laa haulla walla quwatta illa billahil aliyyil adzim. Demikian lah tulisan Saya, semoga Lestari. Salam Wilujeng Rahayu.