historyoleh: Nara S Wiratama

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap penulisan sejarah pastinya terkandung unsur subjektifitas. Hal ini dapat terjadi apabila sejarawan yang hadir dalam suatu peristiwa membiarkan perilaku politis atau etisnya turut berperan dalam menyampaikan peristiwa tersebut.Pada prinsipnya permasalahan mengenai subjektifitas seorang sejarawan tidak hanya menyangkut masalah sejauh mana ia dipengaruhi oleh nilai-nilai politis dan nilai-nilai etis dalam meyampaikan sejarah. Namun ada kalanya hal ini juga dipengaruhi oleh adaya kepentingan yang melandasinya. Sejarah disusun oleh manusia berdasarkan fakta-fakta atau peninggalan masa lalu. Fakta atau peninggalan masa lalu disebut objek, baik bersifat artifak maupun yang berwujud dokumen tertulis. Penyusun sejrah adalah manusia; manusia disini disebut subjek. Dalam penyusunan sejarah dituntut apa adanya (objektif), namun hal itu sulit dicapai karena peristiwanya telah berlalu dan hanya sekali terjadi (einmalig). Unsur subjektifitas akan muncul sesuai cara pandang subjek dalam menafsirkan dan menyusun sejarah. Inilah yang seringkali menjadi masalah dalam perkembangan penulisan sejarah itu sendiri.

Menurut Sartono Kartodirjo, bahwa Setiap pengungkapan atau penganggapan telah melewati proses pengolahan dalam pikiran dan angan-angan seorang subjek. Kejadian sebagai sejarah dalam arti objektif atau aktualitas di amati, dialami, atau dimasukkan ke pikiran subjek sebagai persepsi, sudah barang tentu sebagai masukan tidak akan pernah tetap murni  atau jernih sebagai benda tersendiri tetapi telah diberiwarna atau rasa sesuai dengan  kacamata  atau   selera  subjek.

Sejalan dengan itu berbicara tentang sikap atau pandangan suatu bangsa sudah barang tentu hal itu dihubungkan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya, yaitu ikatan kulturalnya. Umum mengetahui bahwa individu dijadikan anggota masyarakat lewat proses sosialisasi atau enkulturasi, suatu proses yang membudidayakan pada diri individu serta membentuk seluruh pikiran. Perasaan, dan kemauannya dengan menolaknya menurut struktur ideasional, estetis, dan etis yang berlaku dalam masyarakat. Kesemuanya perlu melembaga dalam diri individu, sehingga tidak berlebihan apabila dia ada dalam keterikatan pada kebudayaannya. akibatnya ialah bahwa ada padanya subjektivitas kultural yang sangat mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah (Kartodirdjo, 2014: 72).

Lebih lanjut dikatakan bahwa subjektivitas kultural telah mencakup subjektivitas waktu atau zaman oleh karena kebudayaan bereksistensi dalam waktu tertentu.Dalam banyak karya sejarah subyektivitas zaman disebut tersendiri, bahkan sering dipakai pula istilah jiwa zaman atau Zeitgeist. Pengertian yang sangat abstrak ini menunjuk pada suasana atau iklim mentral yang dominan pada suatu waktu dan berpengaruh pada segala macam manifestasi gaya hidup masyarakat, antara lain materialistis atau idealistis, tredisionalistis atau moderinistis, religious atau sekuler, dan lain sebagainya (Kartodirdjo, 1992: 72).

Oleh karena itu penulis sejarah maupun ilmuwan, diharapkan memiliki sikap ilmiah guna mempertanggungjaabkan tulisannya yang objektif dan menjauhkan diri dari subjektivitas. Menurut Ediyono (2014) bahwa sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini disebabkan sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan, dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggung – jawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras dengan kehendak manusia dan kehendak Tuhan (Ediyono, 2014: 187).

Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa present-mindedness acapkali menjadi panduan untuk menyeleksi permasalahan di masa lampau, namun kita harus berhati-hati, jangan sampai terlalu menguasai pendangan kita terhadap masa lampau dan melaksanakan pandangan masa kini sebagaii alat pengukur tentang masa lampau. Misalnya Negara Majapahit dipandang sebagai Negara nasional. Walaupaun Croce, mengatakan bahwa “ setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini”, namun bukan seperti itulah yang di maksud (Kartodirdjo, 2014: 78-79)

Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan untuk menghindari subjektivitas, adalah sebagai berikut:

  1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness). Artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi;
  2. Bersikap selektif. Yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya, hipotesa yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya;
  3. Adanya rasa percaya yang layak, baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind);
  4. Adanya suatu sikap yang berdasar pada suatu keprcayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian;
  5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktifitas yang menonjol dalam hidupnya;
  6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.

Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpang tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal (Ediyono, 2014: 187-188).

Sumber:

Ediyono, Suryo. 2014. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Kaliwangi

Kartodirdjo, S. 2014. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Kartodirjo, S. 2014. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.