oleh: Nara S Wiratama
1. Hakikat Karya Sastra
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam bathin seseorang.[1]
Bagaimanapun juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam bathin seseorang yang sering terjadi menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sederet pernyataan diatas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Sastra ialah karangan bahasa mengenai masalah sosial budaya yang oleh bentuknya mendapat penilaian positif dari masyarakat, sehingga dipelihara. Pendapat yang lain mengatakan karya sastra adalah ungkapan bahasa yang paling padat informasi, semua yang tidak semantis disemantiskan pula. Sastra merupakan sistem pembentuk model yang sekunder atas dasar makna kebahasaan dibina makna kesusastraan dalam karya sastra. Karya sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, dialami orang tentang kehidupan, diperenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat. [2].
Menurut Teeuw[3], sastra berasal dari akar kata sas (sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan berikut kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan ‘su’, sehingga menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri khas kesusastraan.
Sesuai fungsinya, karya sastra berfungsi mengantarkan manusia untuk mencapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Karya sastra menggunakan bahasa tidak langsung, melalui bahasa metaforis konotatif, aspek-aspek kebudayaan pada umumnya melakukannya secara langsung, melalui bahasa baku, bahasa logis denotatif. Karya sastra membangun dunia melalui kata-kata sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu sebagai dunia yang baru. Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya sehingga peristiwa baru hadir secara terus menerus. Kata-kata itu pun memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu melebihi kemampuan aspek-aspek kebudayaan yang lain. Pengetahuan tentang masa lampau dapat diketahui melaui kata-kata. Informasi kekayaan alam, dengan keanekaragaman kebudayaannya, dapat disebarluaskan dari individu ke individu yang lain, dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain dan sebagainya[4].
Karya sastra dari masa ke masa mengalami perkembangan atau perubahan sesuai dengan perkembangan proses sejarahnya. Sejarah sastra merupakan lukisan atau gambaran rangkaian kehidupan dan perkembangan karya sastra. Oleh karena itu, sejarah sastra biasanya disusun dalam kerangka kronologis. Secara keseluruhan karya sastra tidaklah terpisah-pisah, melainkan memiliki pertalian yang dapat dirasakan pada unsurunsur keterpautan di dalamnya. Pertalian karya sastra yang satu dengan yang lainnya merupakan unsur sendi-sendi kerangka sejarah sastra (Darusuprapta, 1986)[5]. Permasalahan yang lain yang sering terjadi adalah konsistensi sudut pandangnya. Sering kali seorang penulis sejarah mencampuradukkan klasifikasi yang didasarkan oleh kriteria yang satu dengan kriteria yang lain. Misalnya, oleh kriteria waktu politik penguasa tertentu, oleh waktu pengaruh budaya tertentu, oleh jenis sastra tertentu dan sebagainya. Hal semacam ini dapat terjadi oleh karena perkembangan sastra suatu bangsa, di suatu saat seiring dengan perkembangan politik penguasa, namun di sasat yang lain perkembangan sastranya tidak dominan berhubungan dengan politik penguasa, dan sebagainya [6].
2. Sastra Jawa
Perkembangan sastra Jawa dimulai sejak jaman kraton Mataram Hindu, Budha, Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20 sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra merupakan produk masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum. Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan, maka dengan kebudayaan India datang pulalah kesusastraan India di Nusantara. Mulai pertama tahun Masehi di India berkembanglah kesusastraan yang terutama berpusat kepada kitab-kitab suci agama Hindu sesudah perkembangan agama Budha, yaitu kitab-kitab purana. Di samping Hinduisme ini berkembang pulalah agama Budha, baik Mahayana, maupun Hinayana, dengan seluruh kesusastraannya. Tidak hanya kesusastraan yang berhubungan dengan agama saja yang berkembang, tetapi di samping itu terdapat pula karangan-karangan yang terutama mementingkan indahnya bahasa, halusnya rasa, bagusnya irama[7].
Sastra Jawa dalam bentuk tertulis berawal dari suatu zaman ketika kebudayaan jawa mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan India[8]. Proses akulturasi itu terjadi dengan penyerapan unsur-unsur kebudayaan India selama satu abad atau lebih dan memilih unsur yang sesuai dengan pola kebudayaan jawa dengan disertai berbagai modifikasi[9]. Pada abad ketujuh di Nusantara ada kerajaan besar yang sedang memuncak kekuasaannya yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Mataram di Jawa-Tengah. Kebesaran Sriwijaya dapat dilihat dari adanya piagam-piagam yang terdapat dan dari berita-berita orang Tionghoa, sedang kebesaran Mataram dapat dilihat dari bekas-bekasnya, misalnya Borobudur, Kalasan dan Mendut. Kesusastraan pada waktu itu tentu berkembang pula, karena dipusat kerajaan Sriwijaya diibukotanya ada perguruan tinggi agama Budha, sedang pada Borobudur ada terpahat cerita Lalitawistara. Tetapi sayang sekali, bahwa tidak ada hasil kesusastraan yang ketinggalan dari kedua kerajaan itu, yang tentunya akan besar faedahnya untuk mengetahui corak kesusastraan pada waktu itu, jika kita dapat mempelajarinya. Hal ini disebabkan, oleh karena kitab-kitab itu terbuat dari bahan yang mudah rusak dan tidak dapat bertahan lama, lain halnya dengan candi-candi yang terbuat dari batu. Berubahnya keadaan politik, disertai oleh peperangan-peperangan, hancurnya keraton, kurangnya perhatian akan harga atau nilai kebudayaan kuno semua itu menyebabkan dan mempercepat lenyapnya hasil-hasil kesusastraan pada waktu itu[10].
Untuk selengkapnya silakan download dokumen “Periodisasi Sastra Jawa: Manifestasi Keluhuran Bangsa”, di sini…..